Sabtu, 29 September 2012

Andai aku menjadi

Seperti judul tayangan di salah satu stasiun tv swasta “ Andai aku menjadi” . Sedikit terinspirasi dari tayangan itu memang benar. Tapi tak mungkin juga aku mengajak siswa bimbingan ku ke salah satu lokasi “andai aku menjadi itu. Karena akan mengganggu jadwal dan memakan banyak waktu.Walau mungkin manfaatnya akan lebih terasa. Dan si siswa akan mendapat pengalaman hidup dan belajar dari kehidupan nyata.Dan jadilah kegiatan yang kulakukan dengan siswaku minggu ini adalah berandai –andai. Itu yang kukatakan kepada siswaku sewaktu akan memulai belajar. Terlihat binar di mata mereka disertai dengan celutukan , andai saya jadi model bu….andai saya jadi fotografer bu dan beragam celetukan lainnya.Tahap awal berhasil menarik perhatian mereka , kalo pake istilahnya pak Munif Chatib ,’pengarang buku trilogy sekolahnya manusia, gurunya manusia dan orang tuanya manusia memasuki zona alfa . Membagi mereka dalam beberapa kelompok selanjutnya mulai berandai-andai. Kelompok yang menjadi pemimpin suatu negara, kelompok yang menjadi mentri kesehatan , kelompok yang menjadi mentri pendidikan , kelompok kepala sekolah , kelompok guru, kelompok orang tua, dan kelompok milyuner.6 kelompok selain milyuner menduduki posisi yang dilematis. Walau jadi pemimpin suatu negara, mentri kepala sekolah , guru dan orang tua tetapi berada dalam lingkungan negara yang miskin disertai dengan problematika yang berbeda. Dan terdengarlah keluhan mereka ketika ku minta untuk menulis peran dan problematika yang akan meraka selesaikan. Ya ampun bu , kenapa harus jadi presiden di negara miskin sih, kutanggapi lah celetukan itu dengan berkata” kemiskinan akan membuat orang berusaha untuk merubah kehidupannya.

Tak Fokus


Tak mudah mengarahkan kemampuan siswa apabila hanya mengandalkan kata-kata “ tulis di bukumu apa yang menjadi bakatmu. Dan hal itu aku alami manakala harus bekerja sama dengan rekan guru yang tak berasal dari latar belakang pendidikan yang sama dengan ku, berhubung secara hirarki struktur kepegawaian posisinya jauh diatasku membuat aku tak punya daya untuk membantah . Sebenarnya urusan membantah sudah sering kulakukan sejak awal tak setuju dengan pendapatnya tapi kembali lagi apa dayaku , ternyata di lingkungan pendidikan yang katanya tempat untuk mencetak generasi penerus yang kreatif masih mengebiri pemikiran bawahannya yang tak sesuai dengan kebijakan atasan.Apakah cara yang digunakan dengan meminta siswa menuliskan bakatnya kemudian dianggap bakat dan kemampuan siswa tersebut sudah tergali ?Sementara yang kulakukan dengan berbagai metode untuk dapat menggali bakat dan kecerdasan tak selalu didukung dan dianggap sedang menggali bakat . Tak jarang pertanyaan yang muncul sedang buat kegiatan apa bu ? Jangankan saling bekerja sama dengan berbagai rekan dari bidang pelajaran yang berbeda . Mungkin pun si peng ‘ampu ‘ mata pelajaran tersebut kurang mampu memandang secara luas pengembangan dari mata ajar yang diajarnya. Dan hanya focus pada nilai akademis yang diperoleh siswa walau belum tentu berasal dari pemikiran sendiri. Jadilah manakala dibutuhkan penampilan bakat dan potensi mengalami kesulitan untuk menunjukkan bakatnya karena tak pernah focus diarahkan untuk menunjukkan potensinya . Miris ya lingkungan yang harusnya bisa mengembangkan potensi malah memenjarakan potensi itu sendiri.

Minggu, 16 September 2012

Perilaku kita teladan bagi mereka

Aku bingung harus memberi judul apa dari tulisanku ini. Berawal dari kejadian yang menimpa salah satu siswaku. Orang tuanya rekanku kerja . Sementara sang anak adalah siswa bimbinganku . Yang sering kali mendapat perhatian lebih dari seluruh penghuni sekolah karena perilaku berlawanan yang ditampilkannya. . Terucap kata-kata yang penuh emosional dari sang ibu ketika mengajak anaknya untuk pulang dan melakukan tindakan menampar si anak remaja dihadapan teman-temannya. Esoknya sang ibu dengan bangga dan merasa jumawa sebagai penguasa bercerita padaku tentang kelakuan anaknya. Saat itu aku tak berani berkomentar. Tapi aku berpikir , tak disadari kah oleh kita sebagai orang dewasa bahwa yang kita lakukan terhadap anak kita sekalipun akan ada dampak psikologis yang tak akan pernah kita sadari . Kita sebagai  orang dewasa tak usahlah disebut orang tua yang melahirkan anak-anak dari rahimnya seringkali lupa dan khilaf melakukan perilaku yang menunjukkan kekuasaan .Seakan -akan anak itu adalah sesuatu yang tak berdaya dan tak akan mampu melawan. Kita lupa , anak-anak tak selamanya anak-anak dan suatu saat kita orang tua (dewasa)  akan menjadi seperti anak-anak lagi . Dan tidak menutup kemungkinan si anak-anak akan memperlakukan kita sama seperti dahulu kita memperlakukan mereka. Dengan kasih sayang dan bahasa yang lemah lembut atau dengan emosi dan penuh kekerasan.Dan sebenarnya perilaku bullying yang akhir-akhir ini semakin marak terjadi tak melulu terjadi dalam lingkungan sosial pergaulan remaja saja . Tapi semua berawal dari bagaimana si pelaku bullying diperlakukan tidak nyaman dalam kehidupan di rumah bersama dengan orang tua( dewasa ) yang harusnya melindungi mereka. Apabila kemudian para remaja  menampilkan perilaku yang sulit diatur ada kemungkinan kita sebagai orang dewasa punya andil dalam membentuk perilaku mereka .

Question Study Have


Judul tulisan itu sama dengan judul materi yang jadi pembahasanku di minggu bulan September ini.Mengawali dengan bertanya kepada siswa, pernahkah terbersit pertanyaan apa sih pentingnya belajar pelajaran ini dan itu untuk saya.Kalo bahasa facebooknya ‘ apa yang ada dalam pikiran anda ‘. Dan pertanyaan mereka adalah apakah ibu akan mengadukan apabila kami mengeluarkan uneg-uneg tentang cara guru mengajar? Aku meluruskan pertanyaan mereka dengan jawaban , saya tidak minta kalian untuk membahas tentang cara mengajar guru . Namun yang saya minta adalah apakah pernah terpikir dalam diri kalian tentang manfaat apa yang bisa saya dapat dari belajar tentang hal ini dan itu dalam pelajaran tertentu. Setelah mendapat penjelasan seperti itu barulah mereka memahami maksudku dengan memberi materi seperti itu. Meski aku berpikir juga, ada apa kok mereka begitu khawatir aku akan membocorkan uneg-uneg mereka. Bukankah mereka yang seharusnya dilayani untuk mendapat informasi sesuai dengan kebutuhan mereka. Tapi ya sudahlah….tak mungkin aku merubah situasi yang sudah menjadi hal yang biasa. Kalau pinjem istilah rekanku, udah budaya….walaupun bukan budaya yang baik ya. Dan ternyata memang menarik saat kegiatan itu dilakukan .Walau dari semua kelas yang aku ajar selalu muncul pertanyaan sejenis.Seperti apa gunanya saya belajar administrasi padahal cita-cita gak mau jadi akuntan. Atau pertanyaan lain untuk apalagi kita masih harus belajar bahasa Indonesia padahal kita tinggal di Indonesia. Dan pertanyaan yang sama menggelitiknya. Kenapa harus belajar sejarah itu kan sudah lampau . Setelah aku membaca pertanyaan yang mereka ajukan kemudian aku mengumpulkannya lalu meminta kelompok lain untuk menjawab pertanyaan dari kelompok yang lain. Memang harus banyak yang dianalisa dari tugas yang dikerjakan oleh siswa. Antara pertanyaan dan jawaban apabila dianalisa akan menjadi bahan menarik untuk diteliti. Pada kegiatan pertama yang mereka lakukan saat mereka harus membuat pertanyaan adalah aku memperbolehkan mereka memakai bahasa style mereka, dan pada kegiatan kedua ketika mereka sudah membuat beberapa pertanyaan., aku mengumpulkan lalu meminta mereka menjawab pertanyaan teman-temannya dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar . Dan keluhan yang disampaikan adalah bu, susah kalau harus pake bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dari situlah akhirnya aku memberi jawabannya gimana masih penting gak belajar bahasa Indonesia? Menjadi materi yang menurutku menarik manakala aku membahas dalam suatu kegiatan diskusi pertanyaan yang diajukan juga jawaban dari teman kelompok lain. Pertanyaan ku pada kelompok penanya adalah apakah puas dengan jawaban dari temannya. Ketika penanya mengatakan puas aku yang balik bertanya tak adakah perlawanan . Coba dipikir kembali apakah jawaban yang diberikan sudah menjawab pertanyaannya. Akhirnya terjadilah dialog dan diskusi panjang untuk satu pertanyaan . Karena kadang kala beberapa siswa yang ikut berperan dalam menjawab pertanyaan dengan melebar menyebut contoh-contoh lain. Dan ketika sudah ramai dengan diskusi yang panjang dan hampir mendekati debat kusir seperti dalam acara Jakarta Lawyersnya TV One barulah aku menengahi dan menyimpulkan untuk mereka dapat menarik benang merah dari pertanyaan dan beberapa jawaban teman-temannya. Meski waktu 2 jam pertemuan ternyata tak semua pertanyaan dapat dibahas. Akhirnya di pertemuan berikutnya ketika harus kembali bertatap muka dengan penuh semangat kembali mereka menagih,” bu, hari ini masih melanjutkan debatnya kan?” Mungkin ini merupakan salah satu materi yang menarik menurut mereka karena diajak untuk mengungkapkan pemikiran dengan bebas.

Menilai dari Penampilan


Ada satu cerita seru yang biasa kami obrolin dalam kegiatan santai saat istirahat belajar. Salah seorang rekan kerjaku berkata aku menyita topi yang dipakai siswa. Ternyata siswa tersebut memakai topi karena rambutnya dipotong ala Mohawk. Saat itu aku hanya sebagai pendengar yang baik. Manakala pembicaraan mulai serius rasanya gatel juga kalo tidak berkomentar.Sewaktu disebut salah satu nama pemilik topi tersebut, beberapa berkomentar ih sepertinya anak itu gak bandel deh. Aku mengernyitkan alis mata sembari berkomentar, emang kalo pake topi identik dengan bandel ya? Mungkin terkadang kita lupa dengan kata bijak yang mengatakan jangan menilai buku  dari sampulnya. Seakan-akan individu yang memakai atribut yang tidak sesuai dengan atribut sekolah pantas diberi cap atau label bandel. Padahal usia remaja adalah masa dimana seseorang sedang mencari identitas diri. Dan yang menyedihkan sebagai orang dewasa yang telah melewati masa remaja , mulai dihinggapi sifat lupa bahwa mungkin saja saat kita remaja dulu juga suka melakukan sesuatu yang sedikit berbeda dengan teman-temannya . Dan apakah hal itu masuk dalam kategori “ bandel “.

Minggu, 02 September 2012

Penjajahan masa kini

Mungkin tak pernah terpikir oleh kita bahwa sekarang bentuk penjajahan tidak lagi dilakukan dengan adu kekuatan fisik, cara seperti itu udah gak zaman lagi. Tetapi menggunakan akal pikiran dan strategi dagang dengan cara yang halus dan menarik dan tanpa disadari kita masuk dalam perangkap  penjajahan masa kini.Khawatir dianggap sebagai orang tua yang tak mengikuti perkembangan zaman, atau dengan alasan kasih sayang. Ini terjadi manakala buah hatiku merengek-rengek minta diajak main ditempat permainan game dengan sistem koin atau isi pulsa. Dari sudut pandangku sebagai orang tua apa sih menariknya game tersebut sampai diantre panjang oleh bocah berusia sekitar 8-12 tahun.Sementara diarena game yang lain beberapa orang dewasa pun ikut riang bermain , entah sendiri atau dengan alasan menemani sang anak . Memang tak bisa dipungkiri setiap individu membutuhkan hiburan, kenyamanan dan ketenangan dalam kehidupannya . Tak mengapalah walau didapat hanya sesaat melalui permainan game tersebut. Karena saat bermain game ada beberapa hal positif yang didapat oleh individu, perasaan menjadi jago, menguji keberuntungan juga dapat mengekspresikan perasaan dengan cara bermacam-macam. Bisa dengan berteriak uuuuuuuuhhhhhhh dengan wajah penyesalan atau melompat kegirangan karena berhasil mengalahkan lawan dalam permainan game tersebut.Sementara ada sisi negatifnya juga dari permainan game tersebut.. Berdampak kecanduan penasaran ingin bermain lagi , dan lagi . Nah kalo sudah terjadi seperti ini , bukankah ini merupakan judi era kini. Tak disadari uang kita disedot terus menerus untuk memenuhi rasa penasaran . Padahal jelas-jelas dari pandangan agama apapun judi itu dilarang . Tapi mungkin belum dibahas ya judi seperti apa yang haram dari pandangan agama. Aku sebagai orang tua melihatnya dari aspek tak hanya sekedar haram dari si sudut pandang agama tapi hal lain adalah permainan game membuat anakku menjadi tak kreatif dan hanya melakukan hal-hal sebagai pengguna tak minat menciptakan hal-hal baru dan menarik sesuia kreasi mereka. Dan lengkaplah bentuk penjajahannya. , penjajahan otak dalam hal cara berpikir dan penjajahan keyakinan.