Masa indah di sekolah hilang lenyap dikejar-kejar dengan standar kkm . Dan ada beberapa beberapa kelompok siswa yang bereaksi berbeda dengan standar kkm tersebut. Ada yang termotivasi untuk tekun meraih nilai terbaik dengan usaha yang baik pula.
Ada yang cuek walau sangat paham kemampuannya toh nanti akan ada remedial kedua, ketiga atau 'nilai kasih sayang' . Dan ada pula yang stres bahkan sakit menjelang ulangan .
Kejadian yang terus berulang terjadi pada peserta didik . Tak lagi bisa menikmati kehidupan remaja dengan aktifitas mengembangkan bakat dan potensinya . Semua tuntutan akhirnya bermuara pada pencapaian nilai kkm .
Dan seperti latah ikut-ikutan terkena wabah standar kkm . Orang tuapun dibuat panik ketika putra-putrinya mengalami kesulitan mencapai standar kkm yang telah ditetapkan oleh lembaga pendidikan .
Berbondong-bondong lah mendaftarkan putra/i nya pada bimbingan belajar atau meminta privat pada guru yang mengajar . Terjadi simbiosis mutualisma sama-sama mendapat keuntungan .....
Sementara peserta didik yang katanya ( bahasa ideal ) di UU Sisdiknas adalah subjek pendidikan . Kenyataannya tetap takluk dengan standar kkm .
Ironisnya ketika kkm telah terlampaui pun tak menjamin kemampuan kognitif yang bertambah pada siswa .
Siswa terbiasa melakukan cara instan untuk memperoleh nilai dengan sks ( sistem kebut semalam ) .
Maka dari itu apa yang diharapkan dari tuntas dan terlampauinya standar kkm ketika yang terjadi pada kenyataannya tak ada yang berubah dari kemampuan kognitif .Hanya sekedar hafal sesaat untuk dapat menjawab soal-soal ujian . Setelah itu .....Terserah anda