Sabtu, 11 Februari 2012

S O P

Standar operational prosedur adalah standar khusus untuk menjalankan program yang biasa dilakukan di pabrik atau perusahaan besar. Cukup baik apabila bisa diterapkan di semua bidang kerja. Bukan maksud untuk membuat para karyawannya menjadi robot. Tapi dengan S. O. P diharapkan segala hal yang berkaitan dengan prosedur kerja dapat diminimalkan kesalahannya. Dan akan mengalami kekacauan manakala tak mengindahkan prosedur kerja yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan istilah S.O.P itu pula , aku bertanya bisakah hal tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan khususnya di sekolah.Dalam interaksi antara siswa dan guru saat proses KBM berlangsung ? Untuk kegiatan perencanaan dan evaluasi serta tindak lanjut yang di jabarkan dalam Tupoksi memang harus ada standarnya namun untuk yang berhubungan dengan interaksi heart to heart sepertinya akan sulit untuk dipaksakan. Guru dan murid sama-sama mahluk ciptaan Tuhan yang di bekali rasa, harapan , emosi, pikiran dan sensitivitas yang tak sama satu dengan yang lain juga berbeda dari waktu ke waktu.
Pengalamanku sebagai guru mungkin belum cukup menarik untuk berbagi cerita tapi setidaknya hal ini yang ingin aku bahas berkaitan dengan S.O. P. Beberapa hari yang lalu sebenarnya sudah berlangsung selama 3 minggu . Aku melakukan aksi mogok bicara panjang x lebar sama dengan luas kepada salah satu kelas yang aku bimbing. Berawal dari dari perilaku sebagian besar siswa di kelas tersebut yang mengabaikan tugas yang kuberikan . Menganggap aku adalah guru yang cukup toleran dengan alasan yang mereka kemukakan dan dengan seenaknya siswa tak menyelesaikan tugas dengan jawaban entengnya belum siap bu. Sebagai mahluk ciptaan Allah yang memiliki rasa dan emosi aku tersinggung . Menurutku manusiawi dong siapa sih yang mau disepelekan , untuk tugas pelajaran lain mereka bisa begitu khawatir ketika tak mengerjakan . Berbondong-bondong ke kelas lain untuk meminjam UU atau kamus atau buku paket yang lupa dibawa karena takut dengan hukuman dari guru yang mengajar mata pelajaran tersebut. Dan meledaklah marahku dengan mengatakan baik kalian sudah mengecewakan saya , menyepelekan tugas saya dan saya akan turuti keinginan kalian dengan cara saya tidak akan perdulikan kalian. Minggu setelah kejadian tersebut ketika aku ada jadwal untuk masuk kelas tersebut aku dirayu oleh wali kelas agar mau masuk dan kembali mengajar di kelas tersebut , beberapa siswa juga datang menjemputku , bukan merasa sok penting atau dendam tapi aku masih kecewa dengan sikap mereka . Sebenarnya saat aku marah di minggu yang lalu dan memutuskan untuk meninggalkan kelas mereka juga langsung datang berbondong-bondong ke ruanganku , mencoba merayu dan meluluhkan hatiku dengan meminta maaf. Hingga selama 2 minggu setelah kejadian tersebut aku tetap masuk dan mengajar untuk memenuhi tanggungjawabku sebagai pendidik. Tapi bagai manusia tanpa hati tak ada senyum yang aku tunjukkan ketika memasuki kelas itu . Kaku saja. Tak ada pembicaraan untuk mencairkan suasana seperti biasa aku lakukan sebelum memasuki materi pelajaran . Bertanya kabar mereka, mengganggu salah satu dari mereka atau main tebak-tebakan .Salah satu dari mereka yang diberi amanat sebagai ketua kelas menyiapkan dan aku juga menjawab salam mereka untuk kemudian langsung membuka satuan layanan ku dan melihat materi yang harus aku ajarkan pada hari tersebut . Jujur saja aku tersiksa dan saat pelajaranku berakhir di kelas itu aku menangis di depan wali kelas mereka . Aku tersiksa tak jadi diri sendiri
Aku tersiksa tak jadi diriku
waktu itu masih bisa berceloteh bergurau
Kutatap mereka ada binar pengharapan
aku tak maksud menyimpan dendam
tapi harapku masih belum terobati...
Apakah yang berhubungan dengan perasaan dan emosi dapat diterapkan sesuai S.O. P ?
Satu hal lagi yang berkaitan dengan S.O.P , Saat tryout yang diselenggarakan di sekolahku , tertera jadawal pengawas di papan pengumuman guru. Dan ketika aku periksa apakah nomerku juga tertera dalam jadwal tersebut ,ternyata ada hingga hari terakhir aku di tunjuk untuk mengawas . Meskipun kegiatan mengawas ujian merupakan pekerjaan yang sangat tidak menyenangkan , sangat membosankan harus duduk diam mengamati tapi harus dilakoni juga. Hari pertama ngawas ujian berjalan lancar setidaknya untuk ruangan yang aku awas . Dan selalu ada briefing pagi untuk mengawali hari yang dilakukan oleh pimpinan membahas sedikit hal tentang tehnik pelaksanaan tryout yang sesuai dengan standar pelaksanaan ujian nasional , sesuai dengan S.O. P gitu deh. Memasuki hari kedua apakah S.O. P diterapkan ? saat aku melihat lagi jadwal mengawas aku melihat ada bekas hapusan kertas di nomer urutku digantikan oleh nomer urut rekan ku yang lain . Dan anehnya justru nomer yang menggantikanku adalah rekanku yang pelajarannya diujikan pada hari tersebut . Menurut standar UN , guru yang mengajar pada mata pelajaran yang di ujikan tidak dibenarkan untuk mengawas . Dan diterapkan kah S. O.P dengan baik . S.O.P bukan hanya sekedar lip service . Tak gampang menerapkan S. O. P

Rabu, 01 Februari 2012

17....27....37

Seperti bermain tebak-tebakan saat bel istirahat berakhir. Mulai mempersiapkan diri untuk masuk ke salah satu kelas yang kubimbing. Ada rasa sedikit khawatir karena bersamaan dengan turunnya hujan yang disertai petir menggelegar . Dan kembali teringat kejadiaan beberapa tahun yang lalu mengajar saat di luar kelas sedang di guyur hujan sangat deras . Volume suara yang pas-pasan rasanya tak akan mampu untuk menyayingi gelegar petir yang saling bersahutan . Khawatir bukan karena ruangan kelas yang bocor saat hujan deras seperti yang sering diberitakan di media cetak dan elektronik tentang sekolah yang bocor dan hampir roboh. Sekolahku cukup mewah dan layak mendapat predikat sekolah standar nasional dengan fasilitas yang lengkap dan representative . Tapi aku khawatir karena dahulu saat mengajar di jam pelajaran terakhir dengan semangat tinggi aku masuk untuk menjelaskan tentang materi studi lanjut tak kuperdulikan gelegar petir dan derasnya hujan. Menjelang akhir aku menjelaskan seperti biasa aku bertanya kepada siswaku siapa yang mau bertanya. Hening tak ada jawaban, kembali aku ulangi siapa yang akan bertanya. Tiba-tiba dari pojok belakang seorang siswa memberanikan diri untuk bertanya dan menunjuk tangannya . “ Bu , ibu dari tadi ngomong apa, saya gak denger apa-apa…..” Oh ternyata yang kulakukan dari awal hanya terlihat seperti film Charlie Caplin . Film bisu tanpa suara dan yang terlihat hanya gerakan . Dan hari ini saat aku masuk ke salah satu kelas yang aku bimbing yang memang bertepatan dengan ulang tahunku yang ke 37 adalah kelas yang aku bimbing tersebut menyelenggarakan sedikit perayaan ulang tahun . Mereka menggambar gambar kue ulang tahun yang disertai dengan gambar lilinnya dan aku diminta untuk meniup lilin tersebut sambil mereka bernyanyi. Menyenangkan dan membuatku bahagia . Dan mereka bertanya ibu ulang tahun yang keberapa . Aku sigap menjawab yang ke 17 dong yang pasti . Serempak mereka menjawab gak percaya . Ada yang berteriak 27 , 37, 47 ya bu……

Menggugurkan kewajiban

Awalnya aku pikir kita melakukan suatu aktifitas sekedar datang, masuk kelas , memberi materi bel ganti pelajaran berakhirlah jam pelajaran ku di kelas. Aku keluar kelas melakukan aktifitas yang lain. Akan menyenangkan ternyata hal itu malah membuatku tersiksa. Mungkin pemahaman dasar adalah menggugurkan kewajiban . Toh aku sudah masuk kelas melakukan kewajibanku sebagai pendidik . Biasanya saat aku mengajar di kelas yang aku bimbing sebelum aku masuk ke materi . Ada dialog antara aku dan siswa / i tersebut, sekedar menanyakan keadaan mereka , mengganggu salah seorang siswa yang biasanya juga sering membanyol atau hal lain yang tak terlalu serius. Namun entah apa yang terjadi dengan ku akhir –akhir ini. Saat masuk ke salah satu kelas yang aku bimbing aku seperti tak enak hati dan menjadi tak menyenangkan manakala mereka aku minta untuk presentasi . Jawaban yang mengecewakan yang aku dapat, “belum siap bu” Bukan hanya seorang yang memberi jawaban seperti itu. Kecewa dan akhirnya aku meninggalkan kelas tersebut.

Hari ini aku kembali harus melaksanakan tugas untuk menggugurkan kewajibanku mengajar di kelas . Tak ingin menyimpan dendam tapi tak kupungkiri aku masih kecewa. Aku masuk dengan wajah dingin , cuek, dan tak memperdulikan keadaan mereka . Kelas disiapkan tanpa basa-basi seperti biasa aku langsung memanggil mereka untuk presentasi. Kelompok yang maju pertama cukup baik dengan penjelasan dan media yang dibuat sangat menarik. Tapi tak berlanjut dengan kelompok yang lain yang maju. Dengan penampilan yang ala kadarnya tak mempersiapkan tema dengan baik. Kembali di hempas pada dinding kecewa. Dan aku malas untuk berkomentar atau marah aku hanya diam dan menatap wajah mereka . Tatapan mata yang penuh tanda tanya dari beberapa pasang mata kenapa aku jadi kaku dengan mereka . Aku pun sebenarnya tersiksa tak jadi diriku sendiri . Menurutku yang kulakukan hal ini juga tak baik seakan-akan aku menyimpan dendam kepada mereka . Padahal sejujurnya aku sangat kangen dengan suasana celotehan remaja yang menyenangkan persis gaya khasnya remaja