Kamis, 05 Desember 2024

Adab bersilat lidah

Minggu ini lagi viral kejadian yg memprihatinkan ttg tokoh agama yg khilaf menyampaikan kata-kata tak pantas di tengah aktivitasnya berceramah. Sebagai pendidik yang sering berhadapan dengan aktivitas murid dalam penggunaan kata-kata  negatif menjadi kan keprihatinan saat murid lebih mudah enteng mengeluarkan kata/ kalimat umpatan dan sumpah serapah . Sering menengok melalui jendela saat istirahat kbm dalam bercanda murid ngobrol dan mengeluarkan kata negatif dan mengingatkan dengan menghampiri dan ikut dalam perbincangan seru mereka. “Ih ngobrolnya seru banget sampe isi kebun binatang dan teman2nya keluar dari mulutmu nak”

“ iya maaf bu” . 

Dan keprihatinan tersebut menjadi ide untuk melakukan layanan klasikal dgn mengajak muridku menjadi pengamat kata / kalimat yg didengar dan dampaknya terhadap perilaku diri . 

Kusampaikan kepada muridku saat layanan klasikal ketika hasil riset pengamatan sudah dilakukan . Saat presentasi hasil pengamatan dan dampaknya pada diri. 

Poin penting yg disampaikan adalah apa yg terjadi dengan pikiran dan hati kita apabila kita terlalu sering mendengar kata negatif dalam keseharian.             Kata /kalimat yg didengar ibarat seperti suplemen bagi tubuh dan pikiran . 

Jadi jaga pikiran jaga perasaan dari informasi lisan yg akan meracuni diri.

 

Selasa, 03 Desember 2024

Don’t Judge people from the outside


Judul nya keren ya , semoga setelah membaca bisa menginspirasi . 

Tak bisa dipungkiri persepsi akan mempengaruhi penilaian terhadap sesuatu. Informasi awal yang diterima akan menjadi pemahaman awal untuk bertindak atau memberi penilaian. Terkadang yang terjadi adalah setelah informasi awal diterima seakan-akan menjadi data paling valid sehingga menjadi penilaian tertentu. Untuk orang yang terbuka dengan perubahan dan growth mindset informasi menjadi hal penting untuk kemudian dilakukan pencarian informasi pembanding lainnya. Agar penilaian dan pengambilan keputusan menjadi tepat dan meminimalkan kesalahan . Wah pembahasannya agak berat nih. 

Cerita awalnya adalah kejadian salah paham yang akhirnya menjadi pembelajaran untuk mengingat judul tersebut. 

Sebagai konselor saat menangani kasus yang terjadi di sekolah tentunya tak bisa tergesa-gesa langsung mengambil keputusan berdasarkan satu  informasi saja. Setelah beragam data dan informasi dikumpulkan terjadilah kesepakatan untuk saling melakukan pembenahan diri. Dan menjadi menarik manakala setelah sesi kesepakatan selesai dilanjutkan dengan konsultasi edisi curhat dari orang tua. Informasi tentang putri kecilnya yang beranjak remaja masih harus tetap dianggap sebagai putri kecil yang harus selalu didampingi.Hal ini sebenarnya memang bagian dari peran orang tua untuk selalu dan jangan pernah bosan mendampingi putra /putrinya. Namun akan menjadi satu cerita lucu apabila kemudian yang terjadi adalah orang tua yang ternyata kurang dewasa dalam proses penyelesaian masalah untuk sampai pada kesepakatan . Orang tua yang ternyata belum dewasa dan bijak melihat potensi perkembangan putra/putrinya dalam penyelesaian masalah . Pembentukan kemandirian hanya dinilai sebatas sudah mampu berangkat sekolah sendiri tapi tak menyentuh pada kemampuan intelektual putra/i nya yang sudah memiliki pemikiran yang baik menurutnya. Ketidakyakinan orang tua bahwa putra/i nya juga memiliki strategi dalam penyelesaian masalah nya karena tidak sesuai dengan cara yang biasa dilakukan orang tua. 

Lanjut cross check dong . Obrolan santai sepulang sekolah bersama dengan remaja yang dianggap tidak percaya diri ternyata mengaburkan semua persepsi awal berdasarkan informasi yang diterima tentang putrinya yang masih harus didampingi. Justru sebagai konselor takjub dengan cara berpikir remaja ku dalam bersikap menghadapi kesalahpahaman yang terjadi . Sebagai konselor mencoba mengaitkan beberapa teori dari buku bacaan psikologi yang pernah dibaca. Hasilnya luar biasa  Don’t Judge people from the outside.


Senin, 25 November 2024

Refleksi Hari Guru 2024

 Cerita panjang tentang banyak hal di lingkungan baru . Belajar beradaptasi tak hanya dilakukan untuk murid yang pindah sekolah. Guru pun mengalami itu. Bukan menolak aturan namun akhirnya menjadi hal yg tak bisa diselesaikan hanya dgn kata dan nasehat.bersyukur dong. Itu cerita refleksi guru di tahun lalu

https://bloggernyani2k.blogspot.comhttps://bloggernyani2k.blogspot.com/2023/11/refleksi-hari-guru.html?m=1/2023/11/refleksi-hari-guru.html?m=1

Ternyata cerita itu berlanjut menjadi triger tak menarik setiap menghadapi hari Guru. Menjadi renungan diri ketika semua sibuk dgn kemeriahan dan ada hati yg dilupakan . Tak dianggap tak punya makna. Mengabaikan perasaan diri wah itu bukan ajaran ku . Setiap saat selalu belajar untuk mindfulness seperti yg didengungkan oleh pak Mentri yang baru. Dengan bertanya saat awal melakukan layanan klasikal untuk selalu mengenali perasaan yang dirasakan ,hingga mendapat surat cinta dari murid yg mengapresiasi kegiatan yg dilakukan karena merasa mendapat perhatian tak hanya sekedar datang ke sekolah untuk memenuhi kognitif saja. 

Lalu apa refleksi hari Guru tahun ini …hmm campur aduk . 



Rabu, 10 Juli 2024

Uji Nyali untuk Branding Diri

 







Judul ini jadi judul presentasi dalam kegiatan Temu Pendidik Nusantara -Depok 2024. Berawal dari penyelesaian misi belajar membantu pak Toto yang pendiam tidak yakin bisa jadi penulis. Padahal selama ini tulisannya sering sliweran di berbagai akun media sosialnya. Uji nyali versi ku adalah uji nyali menulis essay untuk mengikuti kegiatan sebagai Pengajar Praktik dan Fasilitator . Dan proses uji nyali terlaksana dengan lancar hingga sampai dgn hari ini dipercaya untuk membersamai CGP . Menulis menjadi sarana yang katarsis bagiku ketika bisa menyampaikan pesan tertulis . Cerita di ruang konseling cerita bersama murid dalam aktifitas kbm juga saat mengeluarkan uneg-uneg perasaan dan pikiran berkaitan dengan kebijakan tak bijak . Satu quotes yang menjadi pegangan dalam menulis adalah Tulisanku tak akan mampu mengubah dunia , namun bisa membuat hidupku lebih berwarna .

Dan dari menulis pula banyak jalan terbuka untuk bisa berbagi pengalaman dan praktik baik sebagai nara sumber, penulis dll. Akhirnya aku meyakini berawal dari uji nyali untuk menaklukkan tantangan dalam merangkai kata-kata bisa menjadi branding diri yang menginspirasi diri sendiri dan banyak orang .



 


Sabtu, 08 Juni 2024

Pembelajaran Berdiferensiasi

 Cerita tentang pembelajaran berdiferensiasi menjadi hal yang hangat untuk jadi pembahasan resmi maupun tak resmi dalam segala kegiatan disekolah 

Dalam Program Guru Penggerak dalam paket modul 2 Praktik Pembelajaran yang berpihak pada murid membahas banyak hal tentang apa yang dimaksud dengan pembelajaran berdiferensiasi . Di modul 2.1 dengan sub tema nya adalah Pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid mengupas tentang kesiapan belajar murid ,minat murid dan profil murid . Ketiga aspek yang diungkapkan oleh Tomlinson dari buku yang kemudian menjadi dasar acuan modul PGP “How to Differentiate Instruction in Mixed Ability” . 

Yang dimaksud dengan pembelajaran berdiferensiasi adalah  serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid. Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan:

1.Kurikulum yang memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas.

2.Bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar muridnya.

3.Bagaimana mereka menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid untuk belajar

4.Manajemen kelas yang efektif.

5.Penilaian berkelanjutan. .

Miskonsepsi masih sering terjadi dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dengan mengelompokkan murid dalam kelompok gaya belajar nya ,visual auditori dan kinestetik. Dan hal ini menjadi temuan menarik ketika refleksi saat  melakukan pendampingan individu bersama CGP . Beberapa murid menyuarakan keberatannya manakala temannya yang diidentifikasi memiliki gaya belajar kinestetik diperbolehkan untuk belajar di luar kelas. Tentu saja dalam pikiran murid ada perlakuan tidak adil yg diterima oleh murid dg gaya belajar auditori dan visual .

Hal lain yang bisa menjadi pengingat untuk menerapkan pembelajaran berdiferensiasi sebagai pemenuhan belajar murid adalah saat sesi penilaian. Dalam asesmen akhir tahun semua penilaian hanya dilakukan dengan cara tes tulis . Apakah tes tulis nya dengan menggunakan aplikasi on line atau dengan menggunakan lembar jawaban kertas yang pasti lembaga pendidikan masih dengan paradigma asesmen akhir untuk mendapatkan penilaian hasil belajar murid hanya dapat dilakukan dengan melakukan ujian tulis bersama. Pengabaian bahwa setiap murid dengan kebutuhan belajar yang berbeda begitu juga dengan sistem penilaiannya .             Menjadi tidak adil saat proses KBM guru melakukan observasi dan asesmen dan menemukan kebutuhan belajar murid dapat dipenuhi dengan pembelajaran berdiferensiasi namun saat asesmen penilaian murid dipaksa dinilai hanya dgn satu standar penilaian yaitu tes tulis .  Dan hasil akhir dalam bentuk laporan hasil belajar saat pembagian raport adalah dengan penilaian labeli

Cerita tentang pembelajaran berdiferensiasi menjadi hal yang hangat untuk jadi pembahasan resmi maupun tak resmi dalam segala kegiatan disekolah 

Dalam Program Guru Penggerak dalam paket modul 2 Praktik Pembelajaran yang berpihak pada murid membahas banyak hal tentang apa yang dimaksud dengan pembelajaran berdiferensiasi . Di modul 2.1 dengan sub tema nya adalah Pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan belajar murid mengupas tentang kesiapan belajar murid ,minat murid dan profil murid . Ketiga aspek yang diungkapkan oleh Tomlinson dari buku yang kemudian menjadi dasar acuan modul PGP “How to Differentiate Instruction in Mixed Ability” . 

Yang dimaksud dengan pembelajaran berdiferensiasi adalah  serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid. Keputusan-keputusan yang dibuat tersebut adalah yang terkait dengan:

1.Kurikulum yang memiliki tujuan pembelajaran yang didefinisikan secara jelas.

2.Bagaimana guru menanggapi atau merespon kebutuhan belajar muridnya.

3.Bagaimana mereka menciptakan lingkungan belajar yang “mengundang’ murid untuk belajar

4.Manajemen kelas yang efektif.

5.Penilaian berkelanjutan. .

Miskonsepsi masih sering terjadi dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dengan mengelompokkan murid dalam kelompok gaya belajar nya ,visual auditori dan kinestetik. Dan hal ini menjadi temuan menarik ketika refleksi saat  melakukan pendampingan individu bersama CGP . Beberapa murid menyuarakan keberatannya manakalala temannya yang diidentifikasi memiliki gaya belajar kinestetik diperbolehkan untuk belajar di luar kelas. Tentu saja dalam pikiran murid ada perlakuan tidak adil yg diterima oleh murid dg gaya belajar auditorial dan visual .

Hal lain yang bisa menjadi pengingat untuk menerapkan pembelajaran berdiferensiasi sebagai pemenuhan belajar murid adalah saat sesi penilaian. Dalam asesmen akhir tahun semua penilaian hanya dilakukan dengan cara tes tulis . Apakah tes tulis nya dengan menggunakan aplikasi on line atau dengan menggunakan lembar jawaban kertas yang pasti lembaga pendidikan masih dengan paradigma asesmen akhir untuk mendapatkan penilaian hasil belajar murid hanya dapat dilakukan dengan melakukan ujian tulis bersama. Pengabaian bahwa setiap murid dengan kebutuhan belajar yang berbeda begitu juga dengan sistem penilaiannya .             Menjadi tidak adil saat proses KBM guru melakukan observasi dan asesmen dan menemukan kebutuhan belajar murid dapat dipenuhi dengan pembelajaran berdiferensiasi namun saat asesmen penilaian murid dipaksa dinilai hanya dgn satu standar penilaian yaitu tes tulis .  Dan hasil akhir dalam bentuk laporan hasil belajar saat pembagian rapot adalah dengan penilaian labeling yang diberikan adalah murid tidak pintar , murid nakal,murid pecicilan murid baik murid pendiam . 

Tantangan besar untuk dapat mengubah miskonsepsi ttg pembelajaran berdiferensiasi hingga penilaian akhirnya dengan tetap memenuhi kebutuhan belajar murid .

Sabtu, 25 Mei 2024

Dunia Berkualitas dan Kebutuhan dasar Manusia.

 Tulisan ini masih ada hubungan nya dengan tulisan sebelumnya tentang teori stimulus Respon dari Thorndike dan teori kontrol yang disampaikan oleh William Glasser Choice teori meluruskan miskonsepsi tentang makna kontrol 

  • Ilusi guru mengontrol murid.  

Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau  murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya  guru sedang mengontrol perilaku murid, hal demikian terjadi karena murid  sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru  menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol  menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap  perilaku yang tidak disukai.

  • Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.  

Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha  untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah  suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu,  kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya, dan mencoba untuk  menolak bujukan kita atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha.

  • Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat  menguatkan karakter.

Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada  identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka.  Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru  untuk mengidentifikasi bahwa mereka sedang melakukan perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan ‘suara halus’ untuk menyampaikan pesan  negatif.

  • Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa. 

Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab  untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang  dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan sebuah  pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan menyadari  bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang,  dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk (Modul 1.4 Budaya Positif PGP)

Perubahan paradigma tentang teori Stimulus Respon menjadi teori kontrol memberi pemahaman berpikir baru bahwa setiap individu memiliki kendali atas keputusannya sendiri. Kendali dan keputusan yang diambil oleh individu dapat berjalan baik ketika kebutuhan dasar sebagai manusia terpenuhi. Kebutuhan dasar manusia dari Dr William Glasser adalah Kebutuhan bertahan hidup, Kebutuhan kasih sayang dan diterima,Kebutuhan pengakuan atas kemampuan,kebutuhan akan pilihannya (mandiri atas pilihannya) dan kebutuhan akan kesenangan. Glasser menyatakan bahwa kapasitas untuk berubah ada di dalam diri kita. Jika kita dapat mengidentifikasi kebutuhan apa yang mendorong perilaku kita, maka perubahan perilaku positif dapat dimulai dengan mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan tertentu dengan cara yang positif.  Dan setiap individu memiliki gambaran ideal tentang kehidupan . Dunia berkualitas yang diimpikan oleh individu dapat terpenuhi saat kebutuhan dasarnya sebagai manusia terpenuhi . 


Stimulus Respon VS Teori Kontrol

 Judul cerita ini merupakan pembahasan menarik dari modul yang ada di Program Guru Penggerak modul 1.4 Budaya Positif.

Stimulus Respon adalah teori yang digagas oleh psikolog Amerika Edward L. Thorndike yang berpendapat bahwa kemungkinan suatu stimulus tertentu akan berulang kali menimbulkan respons tertentu bergantung pada konsekuensi yang dirasakan dari respons tersebut. 

Teori ini menjadi teori panduan yang membuat kita memahami tentang respon yang muncul berdasarkan stimulus yang didapat oleh individu . Lebih satu abad teori Stimulus Respon dari tahun 1900 merajalela dalam pemikiran banyak guru.

Bagaimana individu memberi respon berdasarkan stimulus yang diterima. Contoh ketika seorang murid yang pernah melakukan kesalahan lupa menggunakan atribut sekolah saat upacara dan pastinya si murid akan mendapat hukuman dari sekolah karena tidak mematuhi aturan sekolah yang sudah dibuat. Respon yang dimunculkan oleh murid yang tak mematuhi aturan bisa beragam dan si pemberi stimulus (pembuat aturan) mengontrol agar murid tersebut mematuhi aturan yg sudah dibuat dan siap menerima konsekuensi. Dalam pemahaman teori Stimulus Respon perilaku buruk dipandang sebagai suatu kesalahan, Si pemberi hukuman akan merasa menang apabila si pembuat kesalahan kemudian mau menerima hukuman dari kelalaian yg dilakukannya. Dan masih banyak cerita yang menggambarkan tentang penerapan teori Stimulus Respon yang masih di lakukan hingga kini. Tak mudah memang mengubah paradigma berpikir stimulus respon .

Perubahan paradigma tentang teori Stimulus Respon menjadi teori kontrol memberi pemahaman berpikir baru bahwa setiap individu memiliki kendali atas keputusannya sendiri. Ketika seseorang murid yang terlupa memakai atribut sekolah seperti contoh diatas bisa saja si murid tersebut merasa bersalah dan akan melakukan perbaikan diri karena tidak ingin mendapatkan hukuman . Namun belum tentu keinginan nya untuk memakai atribut lengkap benar-benar berasal dari kemauannya sendiri. Motivasi murid tersebut masih berdasarkan kontrol dari luar dirinya. Dan hal seperti ini tidak akan berdampak panjang. 

Menerapkan disiplin positif untuk menjadi suatu budaya positif membutuhkan pemahaman dari si pelaku disiplin dan juga pembuat aturan disiplin. Perlu kiranya melibatkan seluruh warga sekolah untuk menggali nilai-nilai kebajikan yang ingin diwujudkan menjadi suatu kesepakatan dan keyakinan bersama