Sabtu, 12 Februari 2011

Kesiapan mental

Baru-baru ini terjadi hal yang membuatku gemetar sebagai konselor di suatu sekolah.
Saat selesai acara senam pagi di hari Jumat, seorang guru senior yang juga masih sebagai " wakil kepala sekolah " mengumumkan siswa yang tidak lulus atau lebih tepatnya nilai try out nya tidak mencapai standar kelulusan seperti yang ditetapkan oleh pemerintah .Ada sekitar 150 anak yang dinyatakan belum mencapai standar kelulusan, terlihat sepele bagi kami guru -guru mereka . Dengan niat kami (gurunya) memberi informasi itu untuk membangkitkan semangat dan motivasi siswa kami yang belum berhasil mencapai standar,agar mereka memperbaiki cara belajarnya.
Tetapi dilakukan di tengah lapangan dan dengan menggunakan pengeras suara yang volumenya dibuat sekencang mungkin sehingga tidak mungkin orang-orang disekitar lokasi sekolah tidak mendengar nama-nama siswa yang tadi disebut.Pengumuman selesai dilakukan , siswa kelas 9 SMP diperbolehkan kembali ke kelasnya masing -masing. Namun apa yang terjadi setelah pengumuman tersebut , saat siswa kembali ke kelasnya ada satu siswa dari satu kelas yang mungkin dengan emosi dan kekecewaan yang amat sangat karena dinyatakan " tidak lulus " menyayat tangannya dengan pecahan kaca,hingga kami guru menemukannya sudah berkumuran darah dan lemas.
Dan disini saya memandang dalam beberapa aspek:
1. Dampak dari informasi yang katanya untuk niat " membangkitkan " semangat tak selalu menghasilkan hal yang baik . Ada sebagian remaja ( siswa ) yang tidak memiliki kesiapan mental untuk dinyatakan "gagal " di depan umum. Dalam hal ini tugas kami ( guru,ortu dan masyarakat ) tidak pernah mengajarkan siswa lifeskill untuk menyiapkan diri secara mental khususnya untuk "gagal" . Kami hanya selalu membahas tentang keberhasilan dan kesuksesan .
2. Try out yang dilakukan sebagai uji coba siswa menghadapi UN juga seringkali membuat siswa merasa besar kepala saat mereka dinyatakan lulus dan akhirnya siswa meyepelekan UN yang sebenarnya harus mereka persiapkan
3. Saya sebagai konselor merasa harus banyak melakukan instropeksi diri mungkin secara tidak saya sadari sebagai orang tua yang katanya telah dewasa mengucapkan hal-hal yang niatnya untuk motivasi tapi ternyata berdampak psikologis menurunkan percaya diri anak-anak maupun siswa saya di sekolah .
Tidak mudah tapi saya yakin juga tidak akan sulit apabila kita mau mendengar apa sebenarnya yang diinginkan oleh para siswa . Yang membuat menjadi sulit manakala kita sebagai orang tua yang telah dewasa hanya berpikir dari sudut pandang kita saja sehingga kemudian yang kita perlihatkan pada siswa dan anak-anak kita adalah tuntutan dan perintah.
Sementara siswa merasa dia juga memiliki pemikiran dan pandangan untuk kehidupannya.Dan kita ( orang tua dan guru ) mungkin lupa bahwa dahulu kita juga sama seperti remaja sekarang yang ternyata pada saatnya kitapun akan bertanggung jawab atau paling tidak berpikir untuk bertanggung jawab

2 komentar:

  1. Setiap siswa memiliki pandangan yang berbeda terhadap hasil Try Out yg mereka peroleh ....
    Try Out memiliki tujuan untuk mengukur kemampuan mereka sendiri tanpa bantuan orang lain (nyontek, dapat bocoran, dll). Berdasarkan data dari tahun2 sebelumnya, hasil Try Out jauh berbeda dengan hasil Ujian sebenarnya ....
    Kita sebagai guru hanya bisa memberikan motivasi dengan cara pandang kita masing2 ....
    Semoga siswa/i Lulus UN 100%

    BalasHapus