Rabu, 04 Januari 2012

Renungan untuk Guru

Di semester 1 ini aku mengajar materi Multiple Intelegence dan ternyata begitu luar biasa kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Dan aku merasa sebenarnya aku tak memberi umpan yang baik kepada siswa/i ku dalam pengembangan kecerdasan yang mereka miliki. Meskipun tak kupingkiri tak semua siswa yang ku bimbing memberi respon yang baik pula tetapi bagian kecil yang memahami tujuan ku untuk memberi materi tentang kecerdasan majemuk tersebut cukup memberi penghiburan bagi ku bahwa ketika kita sebagai guru memulai dengan memasuki dunia mereka ( siswa ) mereka akan merasakan bahwa mereka dianggap, diperhatikan , penting dan memiliki nilai. Karena aku meyakini sekali semua yang diciptakan Allah memiliki rasa dan keinginan untuk dihargai sebagaimana dia diciptakan oleh sang penciptaNYA . Aku pernah merasakan bagaimana rasanya tak dihargai oleh pemimpin di tempatku bekerja karena statusku yang masih honorer ( status dalam karir bukan kehendakku) selalu dengan kekuasaan yang dimilikinya beliau mengancam dan mengintimidasiku dengan ancaman akan memberhentikanku secara sepihak karena aku dianggap tak loyal pada kepemimpinannya dan benar sebagai manusia normal yang ingin merdeka dari penindasan sepihak aku memberontak dengan mengatakan saya disini bekerja bukan hanya berpangku tangan dan mengharapkan gaji yang memang menjadi hak saya. Hidup dan kehidupan saya Allah yang menentukan bukan karena arogannya sang manusia yang sedang diberi amanat untuk berkuasa . Kembali pada cerita yang kulakukan dengan para siswaku disekolah dengan segala keterbatasan ku sebagai manusia aku berusaha keras untuk memasuki dunia remaja mereka . Sering saat sudah bel pelajaran berganti aku memasuki kelas mereka dan mereka masih sangat asyik bercengkerama dengan teman-temannya dan apabila sudah begitu repot dan stress yang aku hadapi apabila aku tetap ngotot untuk langsung masuk pada materi . Guyonan mereka aku timpali dan sesekali ikut membanyol mengikuti gaya dan karakter tiap kelas yang berbeda. Dengan cara bercerita , mematikan lampu di ruangan kelas, menyuruh mereka berdiri diatas bangku dan melihat ke jendela . Barulah setelah itu aku memulai menyampaikan tujuanku untuk materi pelajaran hari itu.Walau tak semua siswa yang kubimbing setelah aku melakukan hal-hal itu kemudian bisa langsung konsentrasi pelajaran beberapa ada yang masih dengan gaya slow motionnya….cuek dan agak tidak perduli tapi justru disitulah letak tantangannya.Kalau mengikuti tulisannya Pak Munif Chatib dari buku Gurunya Manusia bagaimana mungkin siswa mampu mengikuti pelajaran dengan baik apabila sang siswa yang menjadi sasaran dan subjek utama tak merasa dihargai keberadaannya. Sang guru masuk ke kelas seperti memasuki pabrik dan menemui benda-benda mati yang tak memiliki perasaan untuk dihargai. Marah saat siswa lupa membuat tugas yang diberikan , berisik dan ramai tak menentu. Tapi yang membingungkan justru saat akhir masa belajar guru-guru seperti pegawai pabrik tersebut akan sangat bangganya membawa tentengan (kalau pake istilah kpk hasil gratifikasi). Puaskah kita hanya dengan tentengan yang kita bawa tetapi tak ada dalam hati mereka para siswa yang kita ajar, bimbing dan didik untuk kurun waktu tertentu ?

Minggu, 01 Januari 2012

Semangat baru...

Dentuman petasan bersahut-sahutan di langit yang sedikit mendung. Pergantian malam tahun baru selalu di barengi oleh pesta kembang api dan petasan juga ditemani beberapa penganan untuk pengganjal perut menunggu waktu berganti.Sebelumnya aku beredar di pasar untuk mencari pesanan putra/i ku yang minta di belikan petasan agar acara malam tahun barunya bersama dengan teman-teman di rumah meriah .Tak ingin untuk memupus kesenangan aku pun menuruti dan membelikan juga. Tetapi tetap dengan pemikiran ...tak konsisten ya, melarang untuk merokok atau memasang petasan tetapi saat pergantian tahun justru barang -barang tersebut sangat dicari. Banyak orang rela menghabiskan puluhan mungkin ratusan ribu untuk membeli petasan . Dan untuk merokok , aku sering mendengar petuah / nasehat orang tua yang melarang anaknya merokok ketika masih bersekolah " bakar duit namanya" . Lantas ketika sang putra sudah bekerja oke-oke saja melihat anaknya merokok atau mungkin tak berdaya untuk melarang karena duit yang dibakar bukanlah uang orang tuanya. Pembelajaran yang tak konsisten. Begitu juga dengan petasan atau kembang api , pabriknyanya ditutup tetapi barangnya dicari -cari...oh aneh dan sangat aneh negeri ini. Satu lah lagi yang menjadi perenunganku sebagai orang tua ,manakala putraku minta diajak bermain di Time Zone, sewaktu menemaninya bermain setelah membelikan koin untuknya aku terheran-heran, ternyata yang dimainkan adalah pertarungan antara binatang dengan binatang yang lain ...wah bentuk penjajahan gaya baru nih...karena seingatku sewaktu aku kecil oleh guru ngajiku selalu ditekankan tak boleh berjudi, mengadu ayam dll...Ternyata saat besar tehnologi semakin maju kegiatan berjudi dan mengadu binatang dikemas dalam bentuk yang amat sangat menarik...menghindari tehnologi tak mungkin hal itu sangat di butuhkan . Mungkin lebih tepatnya memberi pengertian kepada putra/i kecil kita bahwa hal itu bentuk lain dari melakukan perbuatan mubazir....Dan menghadapi tahun baru juga tak selalu harus dirayakan dengan berbagai macam pesta untuk sekedar mencari kemeriahan sesaat saja. Memang hidup tak selalu harus dihadapi dengan serius tapi juga jangan bertindak mubazir . Semangat untuk terus melakukan yang terbaik adalah hal yang paling utama dilakukan sepanjang hari sampai dengan tahun berganti lagi...

Selasa, 27 Desember 2011

Motivasi atau intimidasi...???

Hari terakhir di penghujung semester ganjil di lalui dengan kegiatan yang menyenangkan karena ada penghargaan bagi siswa-siswa yang memperoleh prestasi baik . Suatu kemajuan yang sangat berarti yang dahulunya tak pernah dilakukan hal demikian . Meskipun tak selalu sempurna karena dengan ketidak sempurnaan itulah akan selalu di lakukan perbaikan -perbaikan. Sebagai bahan untuk evaluasi. Tetapi cukup kaget juga ketika mendengar amanat dari pembina upacara yang memberi informasi tentang ( KKM) di sekolah ku yang akan naik terus dari tahun ke tahun. Terbayangkan olehku bagaimana panik dan galaunya siswa/i ku untuk dapat mencapai standar kkm dan juga beban dari orang tua untuk memacu semangat belajar putra-putrinya. Jadi ingat beberapa waktu yang lalu sebelum ujian akhir semester dimulai , ada suatu kejadian yang dapat dijadikan perenungan. Manakala ada sms masuk ke hp rekanku yang isinya agak menyayangkan sikap rekanku yang merangkap wali kelas anaknya . Orang tua siswa tersebut melihat begitu tertekannya anaknya yang harus menghadapi ujian akhir. Sehingga sering hal-hal yang harusnya dilakukan oleh remaja seusianya jadi dilewati demi bisa meraih nilai terbaik, hingga akhirnya orang tua tersebut menjadi panik karena mengamati buah hatinya tak lagi seperti umumnya remaja normal malah terlihat tertekan dengan "motivasi atau intimidasi " dari walikelasnya untuk belajar dan terus belajar. Aku pun tak tau sebenarnya harus memberi motivasi atau mengintimidasi agar siswa/i mau belajar dengan tekun . Hanya pencerahan yang terjadi manakala selesai membaca satu buku yang sangat inspiratif " Sekolahnya Manusia" buah karya Munif Chatib seperti terbangun dari tidur panjang yang melelahkan karena ternyata selama ini tak mengajar dengan benar justru berlaku seakan-akan mengajar paling merasa benar . Tak mengindahkan kebutuhan yang diajar, bahwa merekalah yang harusnya paling dipahami kebutuhannya malah diperlakukan hanya sebagai objek untuk sebuah citra nama baik sekolah, guru dan gengsi kepala sekolahnya. Lantas dimana sebenarnya meletakkan kata-kata motivasi yang tepat agar siswa tak merasa dianggap hanya sebagai objek dari suatu gengsi para pengajarnya . Kembali pada semboyan Tut Wuri Handayani yang pernah diungkapkan oleh Ki Hajar Dewantara lebih lengkapnya adalah ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani sehingga menjadi sangat indah manakala pendidik dapat memberi teladan ketika ada di depan, memberi motivasi dan sumber inspirasi saat di tengah dan selalu memberi motivasi dan dorongan sesuai potensi siswanya saat siswanya berada di depan...



Hampir di akhir....

Tahun 2011 akan berlalu dalam beberapa hari yang akan datang...Dan mulai dengan tahun yang baru tahun 2012. Tahun yang menurut ramalan dari beberapa peramal adalah tahun berakhirnya kehidupan di dunia. Membuat bulu kuduk merinding saat membayangkan apabila benar terjadi kejadian yang disebut dengan kiamat tersebut. Apalagi sering digambarkan oleh film-film Holywood tentang heboh dan gemparnya dunia menjadi sangat kacau ketika hal itu terjadi.Sementara dari kisah para Nabi yang memuat cerita hari akhir tak pernah disebutkan secara pasti akan kapan datang nya hari akhir tersebut. Hanya yang diinformasikan tentang tanda-tanda akhir zaman dengan semakin banyaknya keganjilan yang terjadi.Dan ternyata keganjilan itu pun tak menjadi bahan perenungan untuk memperbaiki diri dan perilaku. Semakin di beritakan di media tentang keganjilan semakin banyak orang yang berlomba2 untuk meniru mungkin dengan harapan akan sama terkenalnya.Seperti pembuat keganjilan yang pertama. haha aneh....bahkan akan menjadi aneh manakala tak ikut-ikutan berbuat keganjilan .

Selasa, 13 Desember 2011

Renungan hari Guru

Setiap membaca tulisan dari Prof Rhenal Kasali selalu ada hal-hal menarik yang dapat dijadikan alasan untuk direnungkan.Tulisan di Koran Sindo tgl 8 Desember 2011 yang berjudul “ Perbaiki Sekolah “ ternyata tak sekedar memuat tentang cerita bangunan fisik sekolah di beberapa SD yang mudah rubuh dan tak layak ditempati untuk tempat belajar .Seperti yang sering menjadi soroton berbagai media yang menurut mereka hal itu merupakan berita terhangat untuk diangkat menjadi konsumsi public . Setelah membaca tulisan itu justru yang bisa dilakukan adalah merenungi apa sih sebenarnya yang sudah kami berikan di usia korps PGRI berusia 66 tahun. Ternyata masih berkutat pada hal-hal yang sifatnya seremonial dan rutinitas. Tak pernah atau mungkin jarang sekali para guru benar-benar mengembangkan amanat dari UU Pendidikan mengembangkan segala potensi peserta didik . Dibungkus dengan kemasan yang menarik untuk kepentingan siswa agar mereka giat belajar dan tak lagi khawatir menghadapi Ujian Nasional dibuatlah para siswa harus patuh dengan segala aturan agar mereka hanya focus pada kegiatan belajar . Kegiatan belajar yang dominan menggunakan belahan otak kiri dan mengabaikan belahan otak kanan.Para siswa dituntut atau bahasa pedagogicnya adalah di drill dengan latihan soal-soal menjelang ujian . Padahal kehidupan nyata yang harus dihadapi para siswa saat selesai sekolah bukan lagi tentang cara mengerjakan soal tetapi lebih kepada keahlian afektif dalam mengelola emosi dan kecakapan hidup. Dan hal seperti itu jarang atau sekali lagi mungkin tak pernah diajarkan di bangku sekolah.Dan tak mengherankan pada kenyataan di dunia nyata begitu bubar jam sekolah para siswa layaknya domba yang kebingungan mencari figure teladan . Bertindak seenaknya dengan melakukan ‘ Bullying’ kepada pihak lain yang lebih lemah . Perilaku yang sangat mengkhawatirkan akan menjadi hal yang terbiasa dilakukan apabila system pendidikan yang dibuat tak menyentuh kebutuhan peserta didik . Akhirnya mereka hanya sekedar menggugurkan kewajiban untuk menjalani kehidupan sekolah tetapi tak memahami apa sebenarnya yang harus mereka dapat saat belajar menjadi siswa. Karena begitu mereka menyelesaikan pendidikan formalnya tak selalu ilmu yang mereka peroleh dapat berguna dalam kehidupannya. Masih bersyukur apabila ilmu yang didapat tersimpan dalam memory otak peserta didik namun apabila ternyata hanya sekedar pelengkap untuk menuntaskan KKM pada setiap mata pelajaran sayang sekali waktu yang telah dilalui percuma dan buang-buang waktu karena mungkin bagi sebagian peserta didik tak menjadi kebutuhannya dan tak ada kesan yang tertinggal dari mempelajari materi yang ada.

Apabila mau direnungkan dari teori yang di kemukan oleh Howard Gardner yang kemudian di ceritakan dalam bentuk kisah dongeng binatang, jangan paksakan ayam untuk bisa berenang karena bukan hal itu yang menjadi kecerdasan seekor ayam, atau jangan paksakan kelinci untuk bisa terbang tinggi karena kelinci tak diberi anugrah sayap untuk terbang tapi di beri bekal sebagai binatang yang memiliki ciri pemalu , penurut dan lembut. Begitulah hendaknya setiap pendidik memperlakukan setiap muridnya. Sesuai dengan keunikan dan karakter yang dimiliki oleh siswanya. Membandingkan atau menyamaratakan kemampuan siswa adalah hal yang sangat tidak bijak, karena kita pun sebagai orang dewasa juga sangat tidak suka apabila dibanding-bandingkan dengan orang yang lain yang secara psikologis kita tak tertarik. Berbeda mungkin apabila kita memberi motivasi kepada siswa untuk menjadi pribadi yang sesuai dengan keinginannya. Karena pada dasarnya setiap individu ingin dihargai sesuai dengan keadaannya.

Dan selama aku menjadi guru tak pernah ada penilaian yang dilakukan terhadap guru berdasarkan kepuasan siswa yang dibimbing/ dididiknya . Penilaian sering kali diberikan kepada guru oleh atasannya. Dan tak jarang hal demikian menimbulkan perilaku dari guru diantaranya ABS karena mengajar atau mendidik sesuai petunjuk dari atasan , kemauan atasan atau selera atasan. ( Di kira-kira sendiri saja siapa yang biasa menilai kinerja guru, dan diatasnya lagi) Sehingga hal yang seperti ini tak jarang guru mengajar/ mendidik tanpa dibalut dengan kasih sayang, menganggap siswa yang diajar hanyalah sebagai objek dari materi yang harus disampaikan.Merupakan kebanggaan bagi guru manakala murid yang diajarkan mendapat nilai tinggi dan tuntaslah pembelajaran yang dilakukan itu menurut si guru. Sementara percakapan yang berlangsung diantara siswa adalah kelelahan yang dirasakannya selama mengikuti pelajaran karena tak dianggap sebagai subjek penentu . Tetapi robot dengan balutan untuk kehidupan masa depan .Ironis tapi seperti itulah kenyataannya….

20 Hari yang lalu

Lebih dari 20 hari yang lalu juga selama 20 hari kegiatan . Bersama dengan rekan-rekan baru dari berbagai sekolah yang juga baru di kenal . Berkumpul bersama dengan satu misi yang sama pula mengikuti kegiatan prajabatan . Mengawali hari pertama kegiatan penuh dengan pergulatan perasaan yang campur aduk, antara harapan untuk dapat mewujudkan asa yang telah sekian lama tertunda dan kesedihan harus berpisah dengan keluarga untuk waktu yang cukup lama. Di mulai dengan bunyi pluit berkepanjangan yang membuat stress selama beberapa hari karena harus membiasakan telinga dan debaran jantung agar tak terkaget-kaget. Walau pada kenyataannya tetap saja yang namanya jantung dan telinga tak sepenuhnya dapat berdamai dengan bunyi pluit tersebut. Perlahan namun pasti belajar terbiasa dengan bunyi dan debaran deg-degan . Semua kegiatan di lakukan dengan apel, apel dan apel . Awalnya memang terpaksa melakukan kegiatan karena khawatir akan mendapat hukuman. Namun seiring berjalannya waktu layaknya perilaku manusia normal yang sering mencoba-coba untuk melanggar aturan siapa tau berhasil lolos tak tertangkap oleh petugas. Sangat menghibur manakala berhasil lolos tak tertangkap panitia untuk menjadi petugas di kegiatan apel malam. Kegiatan apel malam yang dilakukan sambil membaca ikrar walaupun hafal tetap saja membuat sensasi tersendiri dalam degup jantung pembacanya karena disaksikan oleh ratusan pasang mata apalagi kalau ternyata salah saat mengucapkan siap-siap saja mendengar teriakan ulangi, ulangi. Wah semakin menjadi sensasi degup jantung disertai gemetar lutut yang saling beradu.Dan jadi teringat manakala malam sudah larut tiba-tiba terdengar suara panitia yang cukup disegani karena sikapnya yang tegas. Melompatlah teman sekamarku karena panik dan langsung menyusun sepatu di tempat tidur rekanku. Ya Allah …segitu khawatirnya hingga tak mampu berpikir waras.

Namun dari sekian minggu dalam kebersamaan tersebut banyak hal-hal yang bisa dipelajari untuk direnungkan tak sekedar belajar disiplin tapi belajar banyak hal tentang toleransi dalam berbagi waktu saat menggunakan kamar mandi yang jumlahnya tak sesuai dengan jumlah peserta atau belajar untuk menjadi orang “ Indonesia “ yang benar karena orang Indonesia sangat dikenal malas mengantri dan disana juga harus belajar mengantri untuk mengambil makan . Pengalaman yang amat berharga untuk dikenang.

Begitupun saat situasi belajar dalam kelas yang selalu disertai dengan diskusi dan tanya jawab sambil sesekali terdengar celetukan menggoda teman yang lagi bertanya. Atau saat bertarung dengan rasa kantuk yang luar biasa tak tertahankan karena tubuh sudah begitu penat mendapat informasi , 5 menit pertama masih mencoba bertahan berusaha melek dan melek dan 5 menit berikutnya yang bisa dilakukan adalah mencari dopping “ cemilan pedas “ agar mata tak keburu terpejam. Karena bagiku akan jadi bencana manakala tertangkap basah mengantuk dan tertidur sanksi yang harus dijalani adalah “ menyanyi” dan menyanyi bukanlah kecerdasan yang kumiliki. Aku jadi teringat kata-kata yang pernah diucapkan oleh buah hatiku saat dirumah manakala aku sering menyanyi mengikuti lagu yang kudengar di radio dan tanpa sungkan anakku langsung berkomentar “ bunda yang diradio sudah bisa menyanyi jadi bunda gak usah ikut nyanyi “ Saat mendengar itu aku hanya tersenyum kecut. Polos tapi dalam. Dan seperti itulah cerita pengalaman selama 20 hari menyenangkan meskipun menemui beberapa hal yang menurutku seharusnya tak harus dilakukan dengan rasa khawatir yang berlebihan . Kebetulan aku penganut paham dan pemikiran semua akan berlalu. Jadi yang hari ini menjadi momok menakutkan pada saatnya akan berganti menjadi cerita lucu dan menyenangkan karena merupakan kenangan hidup di masa depan .

Jumat, 04 November 2011

Mengajari bertanggung jawab ….

Orang tua pasti berharap anak-anak yang dididik dan dibesarkannya memiliki perilaku bertanggung jawab.Ternyata tak semudah yang dibayangkan untuk dapat memiliki anak dengan perilaku yang bertanggung jawab . Tanpa kita sadari sebagai orang tua kita sering meminta anak-anak untuk bertanggung tapi tak pernah mengajarkan bagaimana caranya bertanggung jawab. Bukan kemudian aku merasa sebagai orang paling bertanggung jawab . Tetapi aku melihat ketidak konsistenan kita sebagai orang tua dalam mendidik anak-anak. Satu hal yang dapat aku bagi adalah sebuah cerita tentang ketidak konsistenan ketika menerapkan tanggung jawab.

Dalam mengajarkan sikap bertanggung jawab di tempatku bekerja , sekolah membuat satu cara baru dalam hal peminjaman buku . Buku paket yang dipinjamkan kepada siswa diberi nomer sesuai urutan nomer siswa di kelas. ( Dulu nya tak begitu) dengan tujuan agar siswa yang meminjam buku paket tersebut dapat bertanggung jawab terhadap buku yang dipinjamnya. Dan tak akan diberi pinjaman buku baru di tahun berikutnya apabila buku yang telah dipakai dan dikembalikan masih kurang . Hal itu yang diterapkan di sekolahku agar mengajarkan sikap bertanggung jawab pada siswa. Ternyata tak selalu sejalan antara kebijakan sekolah dengan ajaran orang tua untuk mengajarkan tanggung jawab . Manakala ada salah seorang siswa yang ketinggalan buku di laci mejanya dan diambil untuk melihat bagaimana bentuk tanggung jawab siswa tersebut . Tanpa diduga orang tua siswa tersebut yang kebetulan juga sebagai guru di sekolah ini, dengan gampang dan memudahkan urusan langsung menghubungi petugas perpustakaan untuk meminta buku baru. Biaslah peraturan yang ada karena ada unsur ‘nepotisme’ didalamnya. Dan dengan begitu gampangnya saat ku berjalan dan bertemu siswa tersebut tanpa pernah merasakan kehilangan buku dan menjawab bukunya sudah ada dan dipinjam lagi oleh ibu di perpustakaan . Wah enaknya peraturan dibuat untuk dipatuhi oleh siswa yang tak memiliki kekebalan hukum sementara siswa yang merasa aman dengan keadaannya tak pernah diajarkan untuk bertanggung dalam menyelesaikan masalahnya . Semua langsung diambil alih untuk diselesaikan. Lantas apabila sudah seperti itu bagaimana generasi berikutnya akan menjadi generasi yang bertanggung jawab ?