Kamis, 22 September 2011

Mau naik lupa turun

Di bulan-bulan terakhir ini issue tentang resufle kabinet sedang hangat dibicarakan . Deg-degan adalah kalimat yang paling tepat di sebutkan . Tetapi sebenarnya masalah issue tersebut bukan hanya terjadi dikalangan mentri yang memegang satu departemen tertentu dan membawahi berbagai individu yang didalam nya menyangkut hajat hidup mereka. Aku jadi teringat juga dengan kata-kata mau naik lupa turun. Begitu berduyun-duyunnya orang yang ingin naik dengan melakukan berbagai cara agar bisa terpenuhi harapannya untuk naik.Dan saat telah naik dan ada di posisi penentu kebijakan tak jarang mereka lupa ada saatnya juga mereka harus turun . Dan mulailah terjadi proses tarik ulur yang memperlihatkan ketidaksiapan mereka untuk turun. Seakan-akan turun dari jabatan adalah suatu hal yang akan menimbulkan aib karena dianggap telah melakukan kesalahan. Beberapa waktu yang lalu aku ngobrol dengan seorang rekan yang mengajar di sekolah lain. Cerita ngalor –ngidul sampai akhirnya berbicara tentang kasus yang sedang menimpa Anas Urbaningrum Ketua umum partai Demokrat, dan kegelisahan masyarakat awam yang khawatir dengan perilaku pemimpin negeri yang tak patut dicontoh sehingga berdampak pada berbagai bencana yang terjadi di negara tercinta ini. Cerita semakin seru manakala kukatakan pejabat kita sering ketakutan manakala harus turun dan tak lagi menjabat. Satu cerita nyata manakala ada salah satu pemimpin di sekolahku dan setelah dia mutasi ke beberapa sekolah lain dan saat mulai diterapkan aturan periodesasi jabatan kepala sekolah karena ketidaksiapan untuk turun jabatan yang terjadi kemudian adalah post power sindrom. Sindroma ketakutan karena tak lagi memiliki jabatan dan kekuasaan . Dahulu saat masih memiliki jabatan begitu bangga dan mengagungkan kekuasaannya berpikir seakan-akan jabatan dan kekuasaannya abadi. Berprilaku layaknya pejabat/ pemimpin yang arogan . Manakala karena factor usia atau regenerasi harus melepaskan jabatan prilaku saat menjabat dan memiliki kekuasaan tetap dibawa dalam keseharian . Dan keadaan seperti ini juga terjadi di tempatku bekerja. Kepala sekolah sudah berganti hingga 4 orang tetapi tetap tak ada pergantian wakilnya. Sangat betah dengan posisi orang kedua ( ingat lagu jadikan aku yang kedua….) Ketika usia semakin bertambah dan menjelang usia pensiun kembali memutar otak agar tetap berada pada posisi saat ini dengan cara bergerilya dan menyampaikan opini bahwa tak tega apabila pensiun keadaan sekolah menjadi kacau karena tak ada dirinya. Hebat ya jago banget …seakan –akan tidak ada orang yang seperti dirinya. Apabila mengutip kata-kata bijak yang pernah aku baca manakala seorang pemimpin masih dengan bangganya berkata “ lihat tak ada saya semua jadi kacau , “ berarti dia gagal meregenerasi bawahannya. Dan dalam ilmu manajemen hal itu juga termasuk kegagalan karena tak bisa membuat orang-orang di sekitarnya tergali potensi dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar