Dan aku selalu ingin menjadi bagian dari hidup mereka walau dimana mereka nantinya berada.Terlalu muluk kah...??
Minggu, 22 Mei 2011
Kedekatan yang hilang
Dan aku selalu ingin menjadi bagian dari hidup mereka walau dimana mereka nantinya berada.Terlalu muluk kah...??
Sabtu, 21 Mei 2011
Malam Minggu
Cerita yang lain lagi dengan malam mingguan adalah manakala waktu itu aku sudah kuliah, tepatnya baru selesai SMA, menjalani masa ospek. Saat hari sabtu aku bersama temanku tidak pulang ke kos-an , tetapi langsung pulang ke rumah orang tua yang jaraknya cukup jauh dari kampus.Tapi karena sudah kangen dengan orang tua ya nekad saja padahal esok paginya harus balik lagi ke kampus ...pagi shubuh. Dan benar saja esok minggunya , aku dan temanku terlambat sampai ke kampus . Yang harusnya berkumpul di halaman kampus jam 7.00 WIB. Aku dan temanku baru sampai sekitar jam 7 lewat 15 menit. Sebagai peserta ospek ya pasti dong aku dan temanku dihukum oleh seniorku, dianggap tidak disiplin. Saat di hukum aku dan temanku ditanya oleh senior, kenapa terlambat, pasti kamu malam mingguan ya,aku melirik temanku yang sudah mengkerut mendengar bentakan senior yang sok galak. Aku langsung menjawab iya kak malam mingguan, masak saya malam senin-an sendiri. Sekarang kan baru hari Minggu. Dan seniorku cuma melotot kesal dengan jawabanku.Masih jadi peserta ospek saja sudah pembangkang....
Rutinitas
Aku merasa tak banyak yang aku dapat saat aku dipaksa turun untuk mendengar isi briefing, malah sering merasa menjadi tambahan dosa baru, karena telah memiliki satu persepsi yang berbeda dari yang menyampaikan pesan dari narasumbernya.Selain yang pasti merasa buang-buang waktu saja.
Dan saat tak lagi mendengar isi briefing selama hampir 2 minggu ini, aku pribadi berada dalam zona yang sangat nyaman tapi ternyata kurang baik juga bagi perkembangan diriku sebagai manusia karena otakku kurang dilatih untuk berpikir menganalisa dan menyelesaikan permasalahan yang ada.Rutinitas yang nyaman membuat ku malas berpikir.Terkadang mungkin kita perlu juga mencari tantangan agar kita terlatih untuk mengelola emosi dan otak kita untuk berpikir dan mengambil tindakan yang sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku.
Jumat, 20 Mei 2011
Menjelang sholat Juma'at
Kamis, 19 Mei 2011
Yang tertinggal dari Gender
Beberapa waktu yang lalu aku pernah bercerita tentang materi kesetaraan Gender yang aku bahas dengan siswa-siswa ku di kelas. Tentang perbedaan Gender dan Kodrat. Dan ada sedikit cerita yang tertinggal dari materi yang aku bahas tersebut. Di salah satu kelas yang aku bimbing , saat aku menjelaskan tentang Gender adalah jenis kelamin, sementara kodrat adalah segala hal yang membedakan antara peran laki-laki dan wanita. Salah satu siswaku dengan sedikit berbantahan dengan aku saat aku menjelaskan peran wanita adalah hamil, melahirkan dan menyusui peran itu tak dapat digantikan oleh lelaki. Siswaku mengatakan masak bu, aku menjawab dan mengatakan saya tidak bisa masak, dijawab lagi dengan siswaku masak bu, kembali dengan sedikit ngotot, saya tidak bisa masak . Kemudian siswaku itu protes , ih ibu gimana sih gak bisa masak , terus anak dan suami ibu dikasih makan apa. Sambil melotot saya jawab , kan ada rumah makan Padang.Bertepuk tanganlah teman-temannya. Dan saat aku memberi tugas kepada siswa/i ku mengenai laki-laki dan perempuan. Aku tersenyum simpul dengan tugas diskusi yang mereka kerjakan mengenai kekuatan, kelemahan ,perilaku,sifat dan bidang kerja antara laki-laki dan wanita . Dan berdasarkan hasil diskusi mereka dengan sesama teman sekelompoknya yang berbeda jenis kelamin disimpulkan laki-laki memiliki kelemahan mudah dirayu perempuan . Sedikit iseng aku bertanya contohnya apa kalau laki-laki mudah dirayu, kelompok tersebut agak bingung memberi jawaban . Aku lantas memberi jawaban apa yang kamu maksud seperti iklan shampoo Lifebuoy saat sang ibu keluar ketika ada teman anaknya yang memanggil, lagi keramas, datang lagi anak yang lain dan kembali sang ibu menjawab sambil mengibaskan rambut panjangnya yang indah …lagi keramas…Begitu maksud kelompok kalian ?
Kesedihan di sekelilingku
Tadi pagi aku mendapat telp dari rekan guru di sekolahku mengabarkan tentang rencananya untuk melakukan home visit ke salah satu rumah siswa kami yang sudah beberapa hari tidak masuk sekolah. Dan rekan guru tersebut mengajakku ikut serta juga sebagai guru pembimbing. Aku menyanggupi karena sudah beberapa hari memang siswa tersebut tidak masuk sekolah. Bertiga kami mendatangi rumah siswa tersebut, aku guru pembimbingnya,rekanku yang juga walikelasnya bersama dengan salah satu teman siswa tersebut yang sudah beberapa kali ke rumah anak itu. Aku bertanya kepada temannya siswa itu dimana rumahnya? Dia katakan dalam pasar bu, waktu itu aku cuma manggut-manggut saja,tidak membayangkan kondisi seperti apa yang akan aku temui. Dan sesampai di pasar yang dimaksud, siswaku itu dengan gesitnya memasuki areal pasar. Beberapa pedagang yang ada di pasar langsung berkomentar, pasti gurunya si A. Mau cari rumah si A ya bu, itu bapaknya. Aku dengan rekanku yang walikelasnya tersenyum dan langsung dipersilahkan masuk ke rumahnya. Yang menurutku tidak layak disebut rumah. Amat sangat ala kadarnya. Dan siswa yang aku kunjungi itu sedang tertidur tanpa menggunakan baju, di dalam ruangan yang hanya dibatasi oleh papan-papan berukuran tidak lebih dari 2x2 m.Sangat sederhana apabila tidak mau disebut miskin. Miris sekali hatiku. Aku pikir gambaran rumah dan kehidupan seperti ini hanya ada di dalam cerita sinetron atau paling tidak bukan merupakan bagian dari siswaku yang bersekolah di sekolah yang SSN. Ternyata malah sangat dekat dengan diriku sebagai guru pembimbing siswa tersebut. Memang pernah beberapa kali ada cerita yang terjadi saat aku menghadiri kegiatan MGBK di tingkat kecamatan. Saat sharing diantara guru pembimbing dari sekolah lain, mereka selalu bercerita bagaimana kondisi permasalahan yang terjadi dari siswa yang berasal dari lingkungan sosial ekonomi menengah ke bawah.Yang pastinya sangat berbeda jauh permasalahan yang dihadapi oleh siswa dari kalangan menengah atas. Untuk kondisi sosial ekonomi menengah ke bawah seperti itulah tantangan yang aku harus hadapi sebagai guru pembimbing. Memberi semangat siswa untuk rajin datang ke sekolah. Menceritakan tentang mimpi para Laskar Pelangi dalam menggapai cita-cita yang siapa tahu hal-hal tersebut dapat menjadi inspirasi bagi mereka. Dan saya ingat pernah satu tahun yang lalu saya mengawas Ujian Nasional di salah satu sekolah swasta di wilayah kecamatan ku. Dan aku diberitahu dari lingkungan seperti apa siswa yang diterima di sekolah , sang kepala sekolah dengan niatnya yang mulia mencari anak-anak usia 12-18 tahun yang berdomisili di pinggir rel kereta untuk mau bersekolah memberi gambaran kepada para siswanya mengenai pentingnya sekolah , paling tidak saat mereka lulus mereka akan memiliki ijazah yang merupakan suatu kebanggaan pernah menyelesaikan pendidikan dasar. Dan sekarang aku ternyata menghadapi permasalahan siswa dari kalangan menengah ke bawah. Sebagai bahan renungan untukku apa mungkin sebenarnya aku yang tak tanggap dengan masalah yang dihadapi siswa-siswaku ? Aku tak menyentuh keadaan mereka . Yang kulakukan hanya sekedar menghabiskan waktu tatap muka di dalam kelas…? Oh Tuhanku paling tidak berilah aku kesempatan untuk selalu dapat membuka mata batinku terhadap permasalahan yang ada di sekelilingku.