Rabu, 15 Juni 2011

Mandiri dan memandirikan

Sebagai guru pembimbing yang mengajar di suatu sekolah aku merasakan ikatan emosional tertentu dengan setiap siswa yang aku bimbing. Kebetulan system yang berlaku di sekolah ku adalah setiap guru pembimbing mengikuti perkembangan siswa yang menjadi asuhannya.Misal dari kelas 7 aku yang membimbing mereka dan saat mereka naik kelas aku pun mengikuti mereka ke jenjang yang lebih tinggi terus seperti itu hingga mereka menyelesaikan pendidikannya di jenjang ini. Karena itulah selama 3 tahun mendampingi mereka aku cukup tahu setiap perubahan yang terjadi dengan diri mereka . Dari yang awalnya pemalu karena masih sebagai anak yang baru lulus SD setelah beradaptasi kurang lebih 3 bulan di kelas 7 mulai memperlihatkan perilakunya yang jahil, iseng, ramai dll seperti perilaku khas anak remaja . Dan aku selalu mendapat semangat baru , energy suntikan yang luar biasa melihat kecerian dan keriangan mereka. Itu mungkin sebabnya ya guru bisa terlihat begitu awet muda dengan penampilannya karena yang dihadapi selalu mahluk ciptaan Allah dengan karakter yang unik dan menyenangkan . Guru TK misalnya berapa pun usianya selalu yang dihadapi adalah anak usia 4-6 thn dan mau tak mau si guru TK itu akan berperilaku mengikuti siswa yang menjadi asuhannya. Dan beberapa hari terakhir ini aku sering mendapat curhatan siswa bimbinganku dulu yang sudah lulus dari jenjang pendidikan menengah mengeluh karena mengalami kesulitan beradaptasi dalam lingkungan yang baru. Awalnya ya mereka bercerita seperti layaknya orang yang sedang beradaptasi , mengeluh…kangen dengan masa-masa sekolah yang lama.Menurut ku itu adalah hal yang wajar yang harus dialami setiap manusia. Tetapi kemudian ada beberapa yang bercerita tentang kesulitan mereka juga beradaptasi dengan suasana belajar yang penuh tuntutan. Bahkan sampai hampir divonis tidak naik kelas.Dan hal itu membuatku terhenyak sebagai guru pembimbing mereka selama 3 tahun di jenjang menengah pertama. Mengapa , apa yang terjadi dengan mereka.? Sebagai bahan renungan untukku apakah ini merupakan bentuk kegagalanku yang tidak memandirikan mereka saat aku melepas mereka menuju pendidikan yang lebih tinggi.Mereka begitu dekat dengan ku, mungkin juga begitu tergantung denganku sehingga mereka tak siap menghadapi kehidupan nyata di dunia. Satu sisi dalam diriku aku bahagia memiliki kedekatan emosional dengan mereka tapi di sisi lain tak baik juga kan sebagai pembimbing aku tak memandirikan mereka menghadapi kehidupan nyata yang sudah pasti tantangan yang harus mereka hadapi lebih berat.Dan kemarin aku ngobrol dengan rekan kerjaku sesama guru BK dan ada satu lagi teman yang mengajar mata pelajaran IPS. Aku katakan apa kita ya yang membuat siswa yang saat ini telah menjadi alumni mengalami kesulitan beradaptasi di tempat yang baru , kita terlalu menina bobokan mereka. Kita tak mempersiapkan mereka bahwa dunia di luar sangat rawan dan membekali mereka dengan peralatan yang cukup. Seperti ingin masuk hutan belantara tapi tak membawa parang , golok atau pun belati untuk menebas rumput-rumput liar.Menghadapi kehidupan yang lebih nyata kita para orang dewasa tak pernah mempersiapkan anak-anak kita life skill, seringkali kita hanya membekali mereka dengan hal-hal yang berhubungan dengan kognitif saja. Sementara ranah afektif yang berhubungan dengan perasaan mereka untuk menerima dan mengantisipasi situasi tersulit dalam menjalani kehidupan tak pernah kita persiapkan .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar